a bunch of semicolons;

giselle
2 min readOct 7, 2020

Saat di mana aku paling merasa seperti mayat hidup adalah kala aku keluar dari dunia mimpi dengan susah payah. Iblis menduduki kelopak mataku, batinku, padahal aku tahu benar: yang diduduki iblis pikiranku.

Bayang di bawah mataku semakin menggelap. Wajahku terlihat kuyu. Mama bilang setiap hari, seperti alarm pagi, bahwa aku semakin kurus; menyuruhku makan lebih banyak. Katanya, terlalu kurus malah jadi jelek dan ngeri, seakan aku peduli hal seperti itu sekarang. Suruhannya selalu kujawab dengan seulas senyum dan sepotong afirmasi basa-basi, atau berbohong kalau aku sudah makan.

(Maaf, Ma. Aku hari ini cuma makan mangga.)

Mungkin itu juga yang sering membuatku limbung, dan mengganggu temperamenku. Aku tidak percaya lagi kakiku yang terus menerus goyah, jadilah aku menghabiskan waktu di sofa dan kasur orang tuaku, mencoba mencari kedamaian di aroma yang tinggal ketika mereka pergi.

;

Tolong bilang padaku aku sedang tidak menghidupi mimpi.

Setiap hari rasanya seperti perbatasan: tidak menapak, tidak juga melayang. Aku menggantung tidak jelas antara realita dan halusinasi. Apakah percakapan ini pernah terjadi? Apakah ini benar tanganku, hatiku, suaraku?

Beginilah hidup: mengulang lagu yang sama, me-refresh berbagai laman media sosial meski tak akan ada yang menarik, dan tidur. Tidur. Tidur lagi.

Berharap yang kali ini bukan gerbang ke dimensi mimpi, di mana monster-monster bersembunyi dalam pakaian orang-orang yang kucintai.

;

Jakarta, hujanlah. Hujanlah yang banyak. Rumah ini terlalu sunyi. Temanilah aku sedikit.

;

“Meng,” kataku ketika si kucing liar tanpa nama yang menjadikan dapurku perhentian permanennya datang menghampiri. Ibu hamil itu tidak takut apa pun, bahkan aku.

Ia mengeong.

“Aku nggak bawa apa-apa.” Meng mengeong lagi. Tentu saja tidak mengerti. Aku tersenyum. Aku tidak pernah suka kucing. Aku suka Cally, anak anjingku yang dikubur di halaman belakang. Tumbuh bunga liar di atas kuburannya, mengingatkan aku akan cerita rakyat Jepang yang pernah kubaca ‬tentang kakek dan pohon sakura.

Aku ingin menjadi Meng atau pohon sakura.

;

Ini malam terakhir.

Benar-benar terakhir.

Harusnya itu lagu tentang patah hati, bukan bunuh diri.

;

Aku butuh distraksi, ketikku, dan balon-balon suara berwarna putih muncul dalam kecepatan cahaya, membalas kuningku. Tanpa perlu elaborasi lebih lanjut, mereka tahu aku butuh uluran tangan. Terlintas di benakku bagaimana penyelamatku selalu perempuan dan bukan laki-laki. Aku tidak tahu hal itu kebetulan semata atau bukan, tapi aku bersyukur dipertemukan dengan perempuan-perempuan ini.

Malam itu, untuk kesekian kalinya, aku mengalahkan iblis dan bertahan hidup satu hari lagi.

;

Katakan padaku kamu mencintaiku, bolehkah?

Sepertinya, aku tidak akan pernah bosan mendengarnya.

;

Ditulis November 2019 (dengan modifikasi),

di Jakarta.

--

--

giselle

all my life i've strived to be pretty but on some days, i sit with my thoughts and brave the ugliness.