cerita tengah malam.

bagiku, bagian tergelap malam seolah beku dalam waktu.

giselle
8 min readApr 8, 2021

trigger warning: mentions of anxiety attack. pretty graphic description of self-harm and depression. blood. suicidal ideation. implied sexual harassment and assault.

ditulis september 2020 — april 2021 (dengan modifikasi),

di jakarta.

prolog seonggok kayu mati.

“oh, kamu seperti kayu mati!”

sekarang september 2020. yang di atas adalah jawaban mama saat kutanya seperti apa aku waktu pulang dari jatinangor tepat setahun lalu, skripsi berhenti total dan rencana ke depan hanya kesembuhanku. mama dengan bersemangat menjawab dan papa ikutan mengelaborasi. menurut mereka mataku kosong dan setiap pergi beribadah di gereja kecil kami di lantai atas restoran babi, aku terlihat seperti sedang bergulat dengan banyak kemarahan tersembunyi. duduk diam di sudut yang paling jauh dari paparan speaker, karena waktu itu suara keras saja mampu mengirimku ke dalam satu putaran anxiety attack.

suara keras, keramaian, dan laki-laki. aku mengakui tiga hal itu sebagai hal-hal yang paling kutakuti dan darinya aku ingin sembuh di pertemuan keluarga besar kami di penghujung 2019. nyatanya setelah sembilan bulan lewat pun aku masih sedikit takut, tapi terus berada di rumah menjadi pelindung terbaik. aku bisa meminimalisasi kontak dengan ketiganya sekaligus.

meraba diriku di bulan-bulan terakhir 2019 terasa surreal, seperti berada di dimensi yang berbeda. mungkin karena saat itu aku kebanyakan berada di bawah pengaruh obat, yang mengakibatkan mayoritas waktuku dihabiskan di alam bawah sadar. pun ketika badanku bangun, aku merasa seperti tidak menyentuh dunia nyata. seperti ada yang terputus antara diriku dan realita, di mana aku menjadi penonton tanpa nama yang duduk sendirian, menyaksikan sebuah dunia-tanpa-aku berjalan seperti biasa di layar raksasa. minus popcorn dan soda, karena efek samping obat juga membuat selera makanku kandas — aku turun lima kilo dalam sebulan.

kalau tidak sedang tertidur, aku akan duduk di meja makan tanpa menyentuh lauk satu pun dan memandang ke luar jendela. mengobservasi tirai yang gerakannya kala ditiup angin mengingatkanku akan laut. rumah kami sunyi dan seringkali hanya ada aku dan pembantu kami di siang hari. waktu seolah berhenti. aku tidak yakin apa yang melintas di benakku di momen-momen itu; antara kematian atau betapa sepinya ruang di mana aku berada, mungkin.

hari-hari monokrom numpang lewat seperti ini: bangun. main hp. melamun. kalau lapar sekali, aku akan makan mangga yang sudah dipotong-potong dalam berkotak-kotak tupperware. minum obat. berhalusinasi, mendengar perdebatan paman-pamanku tentang tanah dan harta di kamar yang kosong. tidur. bangun dengan detak jantung yang begitu cepat karena mimpi yang belum tentu seram, namun terlalu nyata sampai-sampai meresahkan.

kadang aku terbangun subuh-subuh, saat semua orang masih lelap. di saat-saat itu kesendirian akan memukulku dengan kencang. aku tersadar aku tidak punya tempat untuk bersandar dan untuk sekadar ditemani menangis. diselimuti ketakutan dan kebencian yang meluap-luap pada diriku sendiri, aku akan melukai lenganku, menyisakan guratan-guratan baru di sana. meneteskan air mata yang keruh oleh amarah ketimbang sedih. seperti yang mama bilang, aku banyak bergulat dengan kemarahan. kebencian. kepahitan. kalau darahku saat itu berubah warna menjadi hijau menjijikkan, aku tak akan terkejut. langit biru dan matahari terbenam di barat. aku terlalu beracun, tubuhku terlalu rusak.

untuk periode yang lama, aku menghindari instagram. aku benci membuka media sosial yang satu itu dan melihat teman-temanku lulus satu persatu. di saat-saat itu, aku menjadi monster pencemburu. harusnya itu aku. harusnya aku, brengsek. melihat semua laki-laki yang aku benci karena mengacaukan aku justru hidup tenang. harusnya kalian yang ingin bunuh diri setiap detiknya, bukan aku. aku yang dulu punya ambisi untuk lulus cumlaude dan cepat kerja agar bisa membantu orang tua membiayai adik kuliah sekarang jadi orang gagal beban keluarga yang tertinggal di belakang, sementara orang lain berlari ke garis finis mereka.

di usia 22 aku harus menelan pil pahit bahwa hidup adalah kompetisi, dan aku sudah kalah telak.

tidak ada ‘camaraderie’. aku cuma sendiri.

di hari kedua opnameku di poli jiwa, tiba-tiba aku dihantam kesedihan yang luar biasa.

aku tidak lagi berusaha mengerti mengapa, karena hal-hal seperti ini biasanya tidak ada alasannya. aku tidak sendiri, kakakku sampai di bandung tadi pagi dan menemaniku di kamar rawat sepanjang hari, kecuali saat ia keluar sebentar untuk mencari makan siang. teman-temanku juga barusan datang menjenguk, dan aku masih tertawa-tawa mendengar ghibahan salah satu dari mereka tentang bosnya yang ‘selebgram’.

mungkin efek obat penenang di infusku yang habis, entahlah, tapi mendadak aku merasa terlalu sadar, terlalu berada di realita, dan dadaku lantas sesak oleh depresi yang berkumpul di satu titik. kesedihan yang dari tadi tersembunyi, membuncah, hendak menyeruak ke permukaan.

antara gengsi dan malu, dan mungkin juga tidak enak dengan kakakku yang jauh-jauh datang kemari kalau menangis di depannya, aku membawa kantong infusku ke kamar mandi dan berbaring di lantai, menangis tertahan, jari-jariku sibuk mengais-ngais lantai hingga tembok demi sensasi berpegangan pada sesuatu. apa saja, apa saja jadi.

tidak perlu ada saksi untuk tahu kalau saat itu aku pasti kelihatan seperti orang gila, namun saat itu aku tidak peduli lagi akan hal-hal seperti harga diriku. aku sudah tidak peduli lagi dengan fakta bahwa lantai kamar mandi banyak kumannya dan bajuku yang tinggal satu setel itu akan kotor. yang bisa kepalaku proses cuma hatiku yang sakit hingga terasa sampai ke tubuh. aku yang sedih sekali sampai mau mati rasanya. hidupku yang sudah kehilangan asanya.

sepertinya waktu itu aku merasakan amarah yang meradang pada entitas yang kuimani sebagai Tuhan. aku bertanya-tanya mengapa tidak Ia bunuh saja aku daripada membuatku melalui penderitaan seperti ini. fuck. aku benci sekali hidup. di tengah pergumulan yang luar biasa itu aku masih harus menahan diri agar tidak mengeluarkan suara meski aku ingin sekali menangis meraung-raung. aku benci. bahkan di titik terendahku saja, aku tidak bisa berbagi.

inilah bentuk sepi yang paling menyakitkan: ketika aku akhirnya sadar kalau aku sendiri dalam penderitaan ini. meski aku tahu ada kakakku dalam jarak beberapa langkah. sebanyak aku tahu teman-temanku hanya one call away seperti yang selalu mereka bilang, aku juga tahu dan paham kalau aku akan selalu sendirian di dalam kegelapan ini.

mundur 1–2 minggu sebelum diopname, aku mengalami kejadian yang mirip. menangis di tengah-tengah serangan kecemasan di kubikel toilet restoran jepang tak lama setelah keluarga kami sampai di sana. insiden itu dipicu oleh ketakutanku akan laki-laki yang tiba-tiba terpelatuk di tengah perjalanan. papa yang bad mood seharian bertengkar dengan pengendara motor di jalan. suaranya membahana. pengendara motor itu meninju sisi mobil kami, papa mengamuk. isi perutku seperti mau keluar. aku sudah tidak pilih-pilih lagi, mau lelaki mana pun, ada alasan apa pun: mereka akan menyakitiku. mereka akan membahayakanku — cuma itu yang berseliweran di kepala. sama, aku terjerembap di lantai dalam kondisi kewarasanku hilang entah ke mana.

kali itu, mama datang tepat waktu. kami duduk berdua dalam kubikel sempit itu, aku di pangkuannya. tubuhku digoyangkan lembut seolah aku masih balita meski aku sudah kepala dua, memakai make up dan sepatu hak tinggi di hari yang dimaksudkan sebagai selebrasi tapi malah berakhir jadi katastrofe. bajunya yang aku tahu ia persiapkan dari jauh-jauh hari basah oleh air mataku, tapi mama tidak mengeluh. ia mengelus rambutku dan membisikkan kata-kata menghibur di telingaku. setelah beberapa lama menenangkanku, mama membujukku keluar dan aku turuti. tapi ternyata melihat dan berdekatan dengan papa masih membuatku mual, dan aku berakhir berlari lagi ke kubikel yang sama. mama tidak menyusulku dan aku diam-diam lega, mengunci diriku di sana. bergerak sesuai insting; mencakari lengan dan leherku untuk mengalihkan kepalaku dari ketakutan yang luar biasa itu, mewarnai tubuh yang sudah kotor ini dengan garis-garis kebencian.

(di hari-hari terburukku, aku mendoakan karma terbesar pada semua laki-laki yang membuatku takut. yang berjaket biru maupun tidak. di bayanganku, beberapa di antara mereka kubunuh dengan tanganku sendiri dan aku berdiri di genangan merah, berlumur darah mereka, tak setitik penyesalan di mata. aku belajar kalau ternyata aku seorang pendendam menakutkan.)

tapi lagi-lagi, seolah diberi tamparan keras, aku mendadak tersadar akan betapa sendirinya aku di dalam carut marut sengsara ini. kakiku melemas. gerakanku berhenti. terduduk di kubangan darah yang kubuat sendiri, aku tersadar kalau ini semua sia-sia.

pada akhirnya, hanya aku sendiri lagi yang terluka.

perihal jembatan dan cinta.

sejak aku dipulangkan ke jakarta, mama mulai berbicara padaku seolah sedang berbicara dengan anak kecil.

halus, intonasinya naik turun berlebihan. persis baby talk. jujur, aku menyukai itu. untuk telingaku yang jadi ekstra sensitif dengan bunyi, tutur kata mama sangat ramah di telinga. di saat yang bersamaan, aku larut dalam rasa bersalah.

bayangkan, di usia di mana orang tuaku seharusnya sudah bisa membanggakan aku ke mana-mana, aku masih harus diurusi dan ditimang. diapit oleh papa dan mama saat tidur agar bisa nyenyak.

tidak ada hal yang bisa lebih tepat mendefinisikan ‘kegagalan’ daripada aku.

aku selalu membenci statusku sebagai anak tengah. peranku sebagai “jembatan” — antara kakak dan adikku, antara orang tua dan saudara-saudaraku — hanya membuatku terus diinjak tanpa pernah dipedulikan. tadinya aku memakai lencana itu dengan bangga, karena aku, seperti kata mama, “lebih kuat”. kalau aku, pasti sanggup menanggungnya. tapi ternyata aku cuma lebih pintar bersandiwara. kerapuhanku baru disadari ketika aku roboh dari beban yang tak sanggup kusangga.

di malam-malam di mana aku sudah ditinggal tidur, aku akan menatap langit-langit dan berpikir (seseorang pernah bilang kerjaku cuma berpikir, dan dia tidak salah). aku memikirkan hari-hari yang kulalui mengejar cinta yang tidak jelas wujudnya untuk menambal lubang-lubang di tubuh jembatanku. aku menunjukkan versi terbaik diriku, terbungkus rapi — lengkap dengan pita dan kertas metalik — tapi ujungnya mereka semua kecewa. yang mana bisa dimengerti, karena aku tidak lebih dari sebuah scam. clickbait. mereka pergi setelah merampas apa yang masih ada padaku sebagai kompensasi; menambah kerusakan yang sudah ada dan membuatku hancur permanen.

sebenarnya aku sendiri tahu, aku tidak akan pernah sama lagi.

seolah bisa mendengar spiral dalam benakku, mama akan terbangun dan menarikku mendekat, mengelus kepalaku lembut. hangat teradiasi dari tubuhnya dan aku berpikir, ‘inikah rasanya menjadi anak kecil lagi? aman dalam dekapan ibuku?’. terdengar permintaan maafnya untuk waktu yang tidak bisa diputar ulang dan aku menutup mata, menyerahkan diri dalam uluran tangannya.

mungkin kali ini aku tidak perlu lagi jadi jembatan. mungkin kali ini, aku boleh jadi yang diselamatkan.

beberapa detik sebelum lelap menjemput, terpikir padaku bagaimana saat itu di tempat itu — kosong dan buruk dan apa adanya, namun berada di tengah-tengah orang tuaku dan tetap disentuh seolah aku sesuatu yang berharga — terasa bagaikan aku dilindungi dari segala sisi, dan mungkin letupan di dadaku saat menyadarinya adalah hal yang paling dekat dengan definisi cinta.

i’m doing nothing except existing. oh, and crying. once in a while.

sebelumnya, aku selalu lari ke kamar mandi setiap hendak menangis supaya tidak perlu ada orang yang melihatku dalam kondisi seperti itu. sebagai perempuan cengeng yang seringkali menangis di publik, aku sangat paham kalau manusia itu tidak nyaman dengan vulnerabilitas, makanya mereka bisa mengatakan hal-hal yang paling tidak pantas ketika dihadapkan dengannya, seperti “kamu nangis?”, atau “masa gitu aja nangis, sih?”. dari kecil pun aku selalu diajarkan kalau air mata itu berliannya perempuan yang harus disayang-sayang. sekarang aku tahu kalau orang dewasa hanya terlalu takut dengan kesedihan.

kini aku tidak lagi bersembunyi kalau mau menangis. aku menangis keras-keras di meja belajarku atau di kasurku, persis anak balita yang tidak dibelikan cokelat kesukaannya. aku datang ke kamar orang tuaku untuk meraung-raung di pelukan ibuku. aku sedih, sedih sekali, dan biarlah semua orang yang berani menerima fakta itu saja yang tinggal. pada mereka aku tunjukkan sisi diriku yang paling bernilai. ke telapak tangan mereka aku kucurkan berlian mataku.

untukku pribadi, bulan berganti bulan, tidak banyak yang berubah meski kata orang-orang lain aku sudah mengalami perkembangan pesat. dari perspektifku, aku masih dicekik kegelapan. cakar mereka beragam bentuk, mulai dari pahitnya masa lalu, menyakitkannya sekarang, hingga ngerinya masa depan. aku menyeret kakiku dari satu hari ke hari berikutnya dibarengi titik-titik air mata.

usahaku tidak banyak. i feel like a waste of space. mengambang tidak jelas tanpa tujuan. tapi kata orang-orang yang mencintaiku, kesia-siaan yang kuembodikan itu malah tetap jadi sebuah pencapaian yang patut dirayakan. jadi aku tetap meneruskannya. the barest minimum.

aku lemah dan tidak ada indah-indahnya. tapi jika aku terus hidup, bahkan kalaupun hanya itu yang bisa aku kerjakan, mungkin akan datang harinya setitik terang terlihat di ujung malam yang panjang ini.

nantinya, saat aku sampai di sana, mungkin semua gelap yang meliputiku akan luntur, jatuh ke belakangku dalam genangan lumpur bayangan, dan aku akan bisa bernapas dengan leluasa. mungkin saat itu aku akan bisa melihat diriku yang sebenarnya, menerimanya dalam segala keutuhannya. sejarahnya. dosa dan jasanya.

.

.

.

sampai hari itu tiba.

--

--

giselle

all my life i've strived to be pretty but on some days, i sit with my thoughts and brave the ugliness.